GEGAS.CO || PEKANBARU - Kekerasan terhadap perempuan di sektor Sumber Daya Alam (SDA) meningkat.
Hal itu terungkap saat Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) di bundaran Tugu Penari, Jalan Jenderal Sudirman, Minggu (30/11/2025).
Kunni Masrohanti, Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, menyebut HAKTP menjadi momentum penting untuk menyoroti berbagai bentuk kekerasan yang dihadapi perempuan.
WALHI Riau, kata Kunni, mencatat akar kekerasan tersebut berasal dari ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber alam.
Berdasarkan data organisasi itu, 55,48 persen daratan Riau telah dikuasai perizinan industri ekstraktif seperti perkebunan sawit, akasia, hingga tambang.
Kondisi ini membuat masyarakat—khususnya perempuan—semakin terpinggirkan dalam mengakses tanah, air, dan ruang hidup. Akibatnya, perempuan menghadapi tekanan berlapis: kekerasan ekologis, ekonomi, psikis hingga risiko kriminalisasi ketika menyuarakan penolakan.
Di Pulau Mendol, misalnya, masyarakat masih menunggu kejelasan redistribusi lahan pasca pencabutan HGU PT TUM.
Di Pulau Rupat, ekspansi Hutan Tanaman Industri dan perkebunan sawit menambah kerentanan pulau kecil tersebut, termasuk dugaan perampasan ruang hidup oleh PT Sumatera Riang Lestari.
Sementara di Rokan Hulu, mengecilnya wilayah adat akibat izin perkebunan dan pertambangan memukul perempuan adat yang menggantungkan hidup pada tanah dan hutan.
“Kerentanan perempuan semakin berlapis ketika lingkungan rusak dan ruang hidup dirampas. Perempuan adat, perempuan desa, perempuan miskin, hingga pembela lingkungan adalah kelompok yang paling terdampak,” tuturnya.
Kunni menegaskanperempuan memikul beban ganda karena perannya terkait penyediaan air, pangan, kesehatan keluarga dan adat. * (rls/Marden)
