Scroll to top

Sentralistik vs Federal: Debat Sistem Pemerintahan Bergulir di Riau

Author
By administrator
29 Nov 2025, 15:13:27 WIB Riau
Sentralistik vs Federal: Debat Sistem Pemerintahan Bergulir di Riau

GEGAS.CO || PEKANBARU — Diskusi Kebangsaan ke-2 dengan tajuk “Lebih Baik Mana, Sentralistik atau Federal?” digelar Forum Aspirasi Negara Federal Indonesia (FANFI) di  Anjungan Kampar, Bandar Seni Raja Ali Haji, Pekanbaru, Sabtu (29/11/25).


Acara yang didukung penuh oleh dua organisasi lingkungan terkemuka di Riau, Jikalahari dan Senarai menjadi saksi bergulirnya perdebatan fundamental mengenai masa depan sistem pemerintahan Indonesia. 


Diskusi hangat ini dihadiri oleh sejumlah tokoh kunci. Dari kalangan aktivis lingkungan, hadir Okto Yugo, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Lingkungan Hidup Riau (Jikalahari), Made Ali, Koordinator Senarai dan Syaed Lukman. Dunia legislatif diwakili oleh Komisi III DPRD Provinsi Riau, Abdullah. 


Tak ketinggalan, gelaran ini juga menyedot perhatian berbagai elemen masyarakat sipil Riau, terlihat dari kehadiran perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai kampus se-Provinsi Riau, perwakilan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), serta organisasi kemelayuan seperti Gerakan Anak Melayu (GAM) Nusantara. 


Sejumlah tokoh adat dan seniman Riau, termasuk Datuk Panglima Said Mahdi, Datuk Bandar, dan Datuk Zaini, juga memadati lokasi acara, menandakan betapa penting dan sensitifnya topik yang dibahas.





Dalam paparannya, Okto Yugo, memberikan penekanan pada persoalan tata ruang sebagai titik pangkal ketidakadilan. Ia menyinggung soal Pemerintah Pusat yang menetapkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada 1986. 


“Disitulah dimulai persoalan Tata Ruang, Keadilan ruang Ekologis itu dimulai dan memberikan tekanan yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Seolah-olah masyarakat adat itu tidak ada, dan itu terus berlanjut,” tegasnya.


Okto mengakui bahwa telah terjadi perubahan dari sisi luasan dan fungsi kawasan sejak 1986, namun seringkali diwarnai perdebatan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat.


Okto kemudian memperdalam analisisnya dengan menyoroti kasus konkret di Riau. Ia mengungkapkan bahwa upaya pengelolaan ruang hutan dan tanah melalui Perda No. 10 Tahun 1994 secara hukum ditolak oleh Pemerintah Pusat. 


“Kemerdekaan Provinsi untuk menentukan sendiri Penataan Ruang daerahnya sendiri sangat ditentukan oleh Pemerintah Pusat,” ujarnya. 


Penolakan ini memaksa Riau kembali merujuk pada TGHK melalui sejumlah Surat Keputusan (SK) baru yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan pusat.


Lebih lanjut, Okto mempertanyakan kedaulatan masyarakat lokal atas tanah. Ia menyoroti persoalan utama dimana hutan seringkali diklaim sebagai ‘tanah negara’ melalui status hutan negara. 


“Pertama, yang bisa diserahkan atau digunakan dari kawasan hutan itu adalah pelepasan kawasan hutan. Untuk bisa diakses oleh masyarakat atau pun perusahaan, itu yang namanya Pelepasan Kawasan Hutan dan kemudian menjadi HPL (Hak Pengelolaan Lahan),” paparnya. 


Di akhir pemaparannya, Okto menggugat dengan pertanyaan kritis: “Siapa yang paling menikmati Pelepasan Kawasan Hutan?” Pertanyaan ini menggantung di udara, menyiratkan ketimpangan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi jantung dari perdebatan sentralistik versus federal, serta menyoroti urgensi pembahasan sistem pemerintahan yang lebih adil bagi daerah dan masyarakat lokal. * (Denny W)


Bagikan Artikel Ini:

Tinggalkan Komentar dengan Akun Facebook:
Tulis Komentar