(Refleksi Barata Brahmana dari Tanah Karo tentang Ketimpangan yang Disamarkan dengan Kata “Unggul”)
EMBUN pagi di Tanah Karo masih jatuh lembut di pucuk ilalang. Bukit-bukit berbalut kabut, sawah menghampar hijau dan suara ayam membangunkan hari.
Tapi di balik ketenangan itu, Barata Brahmana melihat satu ironi yang tak lagi bisa disembunyikan: di negeri yang konon merdeka tanpa kasta, sekolah-sekolah justru hidup dalam sistem kasta yang halus—dengan satu nama yang indah: Sekolah Unggul.
“Unggul,” kata Barata, “itu istilah yang menipu.”
Kata yang terdengar mulia itu kini, menurutnya, telah berubah menjadi pagar sosial. Di satu sisi berdiri gedung-gedung megah dengan papan nama berkilau, ruang kelas berpendingin udara, laboratorium digital, dan biaya sekolah ratusan juta per tahun.
Di sisi lain, sekolah negeri di pinggiran—bertembok kusam, beratap bocor, dengan guru yang masih mengajar di antara lapar dan lelah.
“Yang kaya menimba keunggulan, yang miskin menimba harapan,” ujarnya.
Ketika “Unggul” Menjadi Tembok Tak Kasat Mata
Bagi Barata, istilah “sekolah unggul” adalah bentuk baru dari segregasi sosial. “Unggul” bukan lagi soal prestasi akademik, melainkan simbol status ekonomi.
Kata yang dulu lahir dari semangat untuk memajukan bangsa kini jadi alat untuk memisahkan anak bangsa.
Ia menatap getir ketika mendengar anak petani di Karo berkata dengan pasrah, “Saya tidak bisa masuk sekolah unggul, Pak, karena mahal.”
“Lalu di mana letak keunggulan itu?” tanya Barata. “Jika hanya segelintir anak bisa mencapainya, maka yang unggul bukan muridnya, tapi dompet orang tuanya.”
Barata menyebut kondisi ini sebagai segregation of education — pemisahan pendidikan berdasarkan kemampuan ekonomi. Ketika negara membiarkan jurang ini melebar, ia sesungguhnya sedang kehilangan jiwanya sendiri.
Negara yang Mundur dari Sekolahnya
Barata mengingat masa kecilnya di Karo, tahun 1950-an. Saat itu, sekolah negeri sederhana tapi bersih. Guru dihormati. Murid belajar dengan semangat tanpa merasa rendah.
“Itu masa ketika negara masih hadir,” katanya. Tapi sejak 1970-an, pelan-pelan, kehadiran itu memudar. Sekolah negeri dibiarkan menua, sementara sekolah swasta bermunculan dengan embel-embel “plus”, “unggul”, dan “internasional.”
“Ini bukan kebetulan,” kata Barata. “Ini by design. Pendidikan diswastakan. Dibiarkan menjadi komoditas.”
Dia mencontohkan sektor kesehatan yang mengalami nasib serupa. Dulu Rumah Sakit Kabanjahe jadi kebanggaan Karo; kini bangunannya kusam, pelayanannya lesu, dan warga beralih ke rumah sakit swasta. “Begitu juga sekolah negeri kita,” ujarnya. “Jika dibiarkan merosot, akan digantikan oleh sekolah berbayar yang disebut unggul.”
Membedah Makna “Unggul” yang Sebenarnya
Barata menolak konsep keunggulan yang eksklusif. “Unggul bukan berarti menyingkirkan,” katanya. “Unggul berarti mengangkat.”
Bagi Barata, sekolah unggul seharusnya bukan tempat yang hanya bisa dimasuki 10 persen anak dari kelas atas, melainkan setiap sekolah negeri yang membuat semua anak bangsa tumbuh setara—entah anak konglomerat di kota besar, anak petani di Tigapanah, atau anak buruh di Lau Baleng.
“Kalau ingin Karo maju,” tegasnya, “unggulkan lah SD, SMP dan SMTK di bawah Pemda Karo. Perbaiki bangunannya. Lengkapi fasilitasnya. Sejahterakan gurunya.”
Keunggulan sejati, menurutnya, bukan diukur dari gedung yang megah, melainkan dari apakah anak-anak pulang dari sekolah dengan mata yang berbinar karena merasa dihargai sebagai manusia.
Pelajaran dari Negeri Kecil Bernama Singapura
Selama tiga dekade tinggal di Singapura, Barata menyaksikan bagaimana negeri itu memaknai pendidikan. “Sekolah negerinya bersih, harum, lengkap,” ujarnya. “Gurunya sejahtera, dan karena itu muridnya bersemangat.”
Ia menyebut, di Singapura, sekolah negeri tidak pernah kalah dari sekolah swasta. “Karena negara hadir dan memastikan semua sekolah unggul, bukan hanya satu-dua yang berlabel plus.”
Barata membandingkan dengan desa-desa di Karo: SD yang dindingnya retak, toilet tanpa air, lapangan yang berubah jadi lumpur. “Saya sudah melihat langsung,” katanya. “Ini bukan sekadar soal dana, tapi soal empati.”
Muliakan Guru, Bangunkan Bangsa
Barata lalu mengutip kisah Jepang setelah Hiroshima luluh lantak. Saat Kaisar Hirohito mendengar kabar kehancuran, pertanyaan pertamanya bukan tentang tentara, tapi guru. “Berapa banyak guru yang selamat?”
Karena bangsa hanya bisa bangkit bila gurunya berdiri tegak.
“Guru adalah pagar pertama masa depan,” ujar Barata. “Kalau pagar itu roboh, jangan harap anak-anak bisa tumbuh.”
Ia menatap jauh ke lereng Sinabung, lalu berkata dengan nada lirih tapi pasti, “Bangsa tidak terbang karena segelintir orang kaya menyewa sayap. Bangsa terbang ketika jutaan rakyat diberi sayap yang sama panjangnya.”
Menutup dengan Seruan Nurani
Barata tak ingin bicara dengan marah, melainkan dengan cinta pada tanahnya. “Kita mungkin tak bisa memperbaiki Indonesia seluruhnya,” katanya, “tapi kita bisa mulai dari rumah kita di Karo. Dari sekolah-sekolah rakyat, dari anak-anak kecil yang menunggu masa depan mereka.”
Barata mengajak setiap orang membuka mata, hati dan empati. Karena menurutnya, pendidikan sejati bukanlah tentang mencetak anak-anak pintar semata, melainkan anak-anak yang tumbuh dalam keadilan.
“Republik ini tidak lahir untuk menjadi pasar,” tutupnya. “Ia lahir untuk manusia. Dan manusia hanya tumbuh dalam terang pendidikan yang adil — bukan dalam bayang-bayang ‘sekolah unggul’ yang hanya unggul bagi sebagian.” **
