Scroll to top

Dugaan Karhutla, 5 Korporasi HTI Dilaporkan Jikalahari ke Polisi

Author
By administrator
04 Agu 2025, 14:51:25 WIB Hukrim
Dugaan Karhutla, 5 Korporasi HTI Dilaporkan Jikalahari ke Polisi

GEGAS.CO || PEKANBARU — Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) resmi melaporkan 5 (lima) perusahaan atau korporasi hutan tanaman industri (HTI) ke pihak kepolisian yang diduga melakukan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran udara dan pelampauan ambang batas kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi sepanjang Juli 2025.

Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo dalam siaran pers yang diterima Gegas.co, Senin (4/8/2025). 

Dibeberkannya, 5 korporasi yang dilaporkan tersebut adalah PT Arara Abadi (HTI) Distrik Rokan Hilir, PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) estate Pelalawan, PT Ruas Utama Jaya (RUJ) di Dumai, PT Perawang Sukses Perkasa Industri (PSPI) di Kampar Kiri, dan PT Selaras Abadi Utama (SAU) di Pelalawan.

Laporan Jikalahari ini diterima langsung kepada Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Riau, Kombes Pol Ade Kuncoro, didampingi Wakil Direktur AKBP Basa Emden Banjarnahor dan jajaran.

"Jikalahari mengucapkan terima kasih kepada Kapolda Riau yang telah membuka ruang partisipasi publik dalam mendorong penegakan hukum terhadap pelaku karhutla, khususnya dari korporasi," kata Okto.

Dari hasil analisis citra satelit, titik panas (*hotspot), serta pengecekan lapangan pada 17–27 Juli 2025, Jikalahari menemukan kebakaran melanda lima wilayah konsesi perusahaan tersebut dengan luas mencapai 179 hektare. Karhutla ini menyebabkan kualitas udara di Riau menurun drastis hingga mencapai kategori *Sangat Tidak Sehat** dalam Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).

Temuan utama Jikalahari antara lain:

  1. Kebakaran terjadi dalam areal konsesi perusahaan, tak jauh dari tanaman akasia.
  2. Terdapat kanal-kanal korporasi di lokasi.
  3. Ditemukan tanaman akasia dan kelapa sawit berumur 3–5 tahun.
  4. Lahan terbakar mayoritas berada di kawasan gambut, termasuk di zona prioritas restorasi.
  5. Ditemukan tegakan hutan alam ikut terbakar.
  6. Tidak terlihat menara pemantau api di sekitar areal terbakar yang  menunjukkan tidak lengkapnya sarana prasarana pengendalian karhutla dari perusahaan seperti menara pantau api.

Jikalahari menilai kebakaran dalam wilayah izin korporasi ini merupakan bentuk kelalaian atau bahkan kesengajaan. Padahal, sebagai badan hukum, korporasi memiliki tanggung jawab dan kemampuan untuk mencegah kerusakan lingkungan di wilayah konsesinya.

"Ketidaksiapan perusahaan menjaga arealnya menyebabkan kerusakan lingkungan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sesuai Pasal 98 atau Pasal 99 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," tegas Okto.

Jikalahari menyatakan bahwa laporan ini adalah bentuk partisipasi publik untuk mendorong penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap pelaku karhutla, sejalan dengan semangat "Jikalahari mengucapkan terima kasih kepada Kapolda Riau yang telah membuka ruang partisipasi publik dalam mendorong penegakan hukum terhadap pelaku karhutla, khususnya dari korporasi," kata Okto.

Dari hasil analisis citra satelit, titik panas (*hotspot), serta pengecekan lapangan pada 17–27 Juli 2025, Jikalahari menemukan kebakaran melanda lima wilayah konsesi perusahaan tersebut dengan luas mencapai 179 hektare. Karhutla ini menyebabkan kualitas udara di Riau menurun drastis hingga mencapai kategori *Sangat Tidak Sehat** dalam Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).

Temuan utama Jikalahari antara lain:

1. Kebakaran terjadi dalam areal konsesi perusahaan, tak jauh dari tanaman akasia.

2. Terdapat kanal-kanal korporasi di lokasi.

3. Ditemukan tanaman akasia dan kelapa sawit berumur 3–5 tahun.

4. Lahan terbakar mayoritas berada di kawasan gambut, termasuk di zona prioritas restorasi.

5. Ditemukan tegakan hutan alam ikut terbakar.

6. tidak terlihat menara pemantau api di sekitar areal terbakar yang  menunjukkan tidak lengkapnya sarana prasarana pengendalian karhutla dari perusahaan seperti menara pantau api.

Jikalahari menilai kebakaran dalam wilayah izin korporasi ini merupakan bentuk kelalaian atau bahkan kesengajaan. Padahal, sebagai badan hukum, korporasi memiliki tanggung jawab dan kemampuan untuk mencegah kerusakan lingkungan di wilayah konsesinya.

"Ketidaksiapan perusahaan menjaga arealnya menyebabkan kerusakan lingkungan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sesuai Pasal 98 atau Pasal 99 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," tegas Okto.

Jikalahari menyatakan bahwa laporan ini adalah bentuk partisipasi publik untuk mendorong penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap pelaku karhutla, sejalan dengan semangat green policing yang digaungkan Polri.

"Kami mendukung sepenuhnya komitmen Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan, yang sejak awal menegaskan akan menindak pelaku karhutla tanpa pandang bulu. Penegakan hukum terhadap korporasi penting untuk memberi rasa keadilan bagi masyarakat yang menjadi korban asap," pungkas Okto. * (rls/Maliq)

 yang digaungkan Polri.

"Kami mendukung sepenuhnya komitmen Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan, yang sejak awal menegaskan akan menindak pelaku karhutla tanpa pandang bulu. Penegakan hukum terhadap korporasi penting untuk memberi rasa keadilan bagi masyarakat yang menjadi korban asap," pungkas Okto. * (rls/Maliq)


Bagikan Artikel Ini:

Tinggalkan Komentar dengan Akun Facebook:
Tulis Komentar