GEGAS.CO || PEKANBARU - Pemerintah diminta meninjau ulang rencana mengubah 20,6 juta hektare hutan di Indonesia guna mendukung program swasembada pangan, energi dan air.
Permintaan itu disampaikan Direktur Paradigma Riko Kurniawan dalam konferensi pers di kantornya, Selasa (21/1/2025).
Menurut dia, prinsip kehati-hatian
mestinya dilakukan pemerintah karena ini akan bertentangan dan mengganggu jalannya komitmen perubahan iklim secara kebijakan internasional dan dalam negeri yang sudah dibangun dari sektor hutan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Apalagi untuk program swasembada pangan, energi dan air itu nantinya 15,53 juta hektare diambil dari kawasan hutan belum berizin dan 5,07 juta hektar dari kawasan hutan berizin.
Sementara pada Conference of the Parties (COP) 29 di Baku, Azerbaijan November 2024 lalu. Indonesia menawarkan kalau cadangan karbon Indonesia dari sektor hutan dan lahan bisa menghasilkan sebanyak 200 juta ton tiap tahunnya.
"Untuk cadangan karbon ini, pemerintah kita berjanji akan re-forestasi atau penanaman kayu kembali pada lahan kritis seluas 12,7 juta hektare terbagi atas di kawasan hutan seluas 7,4 juta hektar, sisanya 5 juta hektare lebih di luar kawasan. Serta akan melakukan program ketahanan pangan tanpa melakukan deforestasi,” kata Direktur Paradigma ini.
Ditambahkan Riko, komitmen dalam negeri, usai COP 21, Indonesia meratifikasi perjanjian Paris menjadi Undang Undang 16 tahun 2016 sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dan pertahanan atas perubahan iklim.
Pada NDC 2016, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan hingga 41 persen dengan dukungan internasional, dengan target net emisi pada 2030.
Kemudian komitmen tersebut diturunkan kembali dalam kebijakan Indonesia’s Forestry And Other Land Use (Folu) Net Sink 2030 dituangkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 168 tahun 2022 sebab target NDC terbesar ada pada sektor hutan dan lahan.
Maka Folu ditargetkan akan menyerap gas rumah kaca 31,89 persen usaha sendiri dan 43,2 persen dengan bantuan internasional.
Folu akan diproyeksikan sebagai usaha perlindungan dan pemulihan hutan seluas 95 juta hektar dengan target penyerapan karbon 140 juta ton CO2e.
Lalu kebijakan perlindungan hutan lainnya yakni masih berlaku; moratorium pemberian izin untuk pembukaan hutan dan gambut dalam Inpres 6 tahun 2017 dan Inpres 5 tahun 2019, serta evaluasi dan penundaan pemberian izin pada hutan untuk penanaman sawit dalam Inpres 8 tahun 2018.
“Komitmen Internasional sudah dibangun dan kebijakan Folu Net Sink untuk mencapai net emisi serta kebijakan moratorium bidang kehutanan masih berlaku. Jika disandingkan dengan rencana pembukaan hutan 20 juta hektar maka ini jelas akan mengganggu pencapaian komitmen tersebut,” pungkas Riko Kurniawan. * (Denny W)
