Oleh : Armilis, Praktisi Hukum
SERATUS hari pertama masa kepemimpinan Gubernur Riau Abdul Wahid dan Wakil Gubernur SF Haryanto telah berlalu. Namun, alih-alih membawa kepastian dan harapan, justru banyak muncul tanda tanya dan kegelisahan di tengah masyarakat.
Setelah dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto pada 20 Februari 2025 lalu, ekspektasi terhadap pasangan Wahid–SF begitu besar. Tapi realita di lapangan tak seindah narasi awal.
Pertanyaan paling mendasar kini menggema: ke mana arah “Riau Bermarwah” yang dulu dijanjikan?
Yang muncul ke permukaan justru polemik, bukan program. Alih-alih menunjukkan kerja nyata, publik justru disuguhi kegaduhan antara Gubernur dan Wakil Gubernur.
Salah satu isu paling krusial adalah perbedaan data defisit APBD. Gubernur Wahid menyebut angka Rp3,5 triliun, sementara SF Haryanto menyanggah hanya sekitar Rp135 miliar. Ini bukan sekadar perbedaan angka. Ini adalah bukti bahwa koordinasi internal eksekutif lemah.
Jika dua pemimpin tidak sepakat dalam hal fundamental seperti keuangan, bagaimana mungkin publik percaya pada arah kebijakan?
Belum lagi absennya SF Haryanto dalam banyak agenda resmi. Sementara Gubernur terlihat sibuk melakukan road show ke pusat bersama kepala daerah lainnya. Langkah itu sah-sah saja, tetapi tanpa fondasi strategi yang jelas dan koordinasi kuat di daerah, ini hanya akan menjadi pencitraan kosong.
Riau tidak butuh panggung. Riau butuh kepemimpinan nyata. Saatnya berhenti memainkan drama politik. Jangan jadikan ego sebagai panglima. Bila hubungan Gubernur dan Wakil Gubernur terus retak, maka yang jadi korban adalah rakyat.
Lebih mengkhawatirkan lagi, mulai muncul gejala hilangnya kepercayaan di tubuh birokrasi. Sejumlah kepala OPD dilaporkan mengundurkan diri akibat tekanan politik dan loyalitas yang digiring ke arah personal. Ini berbahaya. ASN adalah abdi negara, bukan alat kekuasaan individu. Jangan rusak sistem pemerintahan dengan paranoia politik.
Dalam situasi seperti ini, penegakan hukum harus jadi prioritas. Kasus dugaan korupsi SPPD fiktif DPRD Riau, polemik pembangunan flyover Arengka, serta tunda bayar anggaran adalah contoh nyata lemahnya kontrol. Wahid harus memimpin dengan keberanian, bukan retorika. Rakyat ingin kejelasan, bukan sekadar janji.
Sebagai gubernur baru tanpa beban masa lalu, Wahid punya peluang untuk membenahi Riau. Ini momentum yang langka. Tegakkan hukum tanpa pandang bulu. Bangun soliditas di internal, kuatkan birokrasi, dan fokus pada pemulihan keuangan daerah.
Jika momentum ini disia-siakan, maka janji “Riau Bermarwah” hanya akan jadi slogan tanpa makna.
- Penulis adalah Praktisi Hukum sekaligus Direktur Lembaga Anti Korupsi Riau.
