BIASA SAJA LAH, BERSIKAP LAH SEPERTI PAPAN CATUR
SIKAP biasa biasa saja dalam memilih calon gubernur, walikota dan bupati barangkali bisa jadi alternatif lain dari gambaran sebuah sikap dewasa dan terdidik. Barangkali hal tersebut tidak mustahil untuk dijadikan salah satu rujukan pertimbangan dalam menyikapi euforia dalam memeriahkan agenda silih berganti lima tahunan, Pilkada damai mendatang.
Dan barangkali juga, salah satu wujud dari etimologi sikap dewasa dalam berpolitik adalah cukup mempertontonkan ekspresi diri saat menggunakan hak pilih di dalam bilik suara bukan di ruang ruang publik.
Baca Lainnya :
- H. Sulaiman Dinilai Gamang Jadi Plt Bupati Rohil0
- PETIR Sebut Polda Riau Terkesan Tebang Pilih Penanganan Kasus0
- Pangdam I/BB Dampingi Presiden Jokowi Resmikan 2 Proyek Strategis Nasional di Sumut0
- Batalkan Lelang Sepihak, KPKNL Dumai Dinilai Tak Profesional0
- Curhat Warga di Kampanye Muflihun: UHC Menyelamatkan Nyawa Orangtua Saya0
Sehingga basis dari norma demokrasi sesungguhnya dalam peristiwa periodik Pemilukada yakni LUBER JURDIL dapat terlaksana. Orang per orang tidak perlu mempertontonkan dan mendapatkan pengakuan dari orang lain, bahwa dia memilih si fulan atau si polan. Pilihan suara dan pilihan akal sehatnya terhadap salah satu paslon cukup jadi rahasia dirinya di dalam bilik suara. Demi menghargai pilihan yang berseberangan dengan dirinya.
Ekpresikan saja pilihan di bilik suara sesuai aturan dan UU berlaku. Mau memilih si A atau si B. Atau mau membuat pilihan yang lain. Semua sudah diakomodir oleh azaz Luber dan Jurdil.
Ekspresi diri, pikiran dan pilihan di kotak suara dijamin UU sebagai hak azazi seorang warga negara. Tidak ada yang mengetahui dan tidak ada yang akan menuntut seseorang karna pilihan yang dirahasiakan di bilik suara.
Namun apabila pilihan kita itu kita ramaikan di ruang publik dengan cara melakukan hal hal yang dianggap dan dinilai pihak berseberangan dengan kita terindikasi mengintimidasi kesucian nurani dan perasaan orang lain di luar kotak suara baik secara verbal maupun prilaku, barangkali juga tidak tertutup kemungkinan akan membuat perang medsos, atau debat tak berkesudahan. Karna masing masing merasa yang baik. Memang sah dan wajar wajar saja masing masing merasa baik, tapi belum tentu BENAR.
Propaganda BUCIN pada salah satu paslon yang dianggap mewakili apirasi rakyat ketimbang paslon lain yang akhir akhir ini muncul di berbagai platform media sosial. Barangkali adalah bagian dari serentetan banyak bagian dalam dinamika politik Pilkada.Pilih bagian bagian lain yang masih tersisa.
Memihak adalah pilihan. Tidak pula melakukan infiltrasi negatif pada kedewasaan berfikir seseorang. Juga merupakan pilihan.
Setiap orang pada hakikatnya melekat dan bersemanyam di dirinya unsur unsur perbedaan satu sama lain. Terkadang mata dan hati setiap manusia tak sejalan. Ada kalanya mata lebih dulu maksiat, lalu disusul oleh maksiat hatinya lewat khayalan dan imajinasinya atau sebalik. Tapi terkadang mata maksiat, hatinya membuat pilihan berbeda. Beristighfar atas kemaksiatan matanya.
Dari sini kita bisa berkesimpulan di tubuh seorang anak Adam sebenarnya nilai nilai perbedaan itu sudah dibawanya sejak lahir. Apalagi perbedaan dalam pandangan politik. Sudah dipastikan 0ne Hudred Persen bakal terjadi.
Perbedaan itu adalah nutrisi yang memperkaya wawasan berfikir seseorang sebelum mengambil sikap. Bisa saja perbedaan itu lah yang secara lahiriah memunculkan keputusan pemikiran yang dianggap dirinya benar, namun belum tentu benar bagi orang lain.Semua harus bijak menerima adanya perbedaan.
Memilih orang lain untuk menduduki jabatan politik atau jabatan duniawi tak perlu dipertengkarkan di ruang ruang publik dengan grafik yang bisa saja cenderung mengarah ke tendesius menyerang, mengidolakan, sarkasme, BUCIN berlebihan.
Sebab suatu ketika kalau masih diperbolehkan berandai andai, bisa saja hal yang kita ekploitasi dan ekplorasi lewat kata kata dan tindakan untuk mendukung salah satu paslon, di akhir cerita--sekali lagi-- tidak sesuai harapan dan kenyataan.
Buruk cerita jauh panggang dari api. Ekpektasinya terjun bebas, jauh dari fakta setelah si paslon berkuasa. Barangkali disinilah asal muasal rasa kecewa bermunculan. Menggumpal menjadi sumpah serapah dalam pikir bawah sadar.
Nah kita tentu sebagai pihak yang dulu pernah menggembar gemborkannya di ruang publik, tentu secara moral harus juga bertanggung jawab atas ketidaksesuaian janji politik kinerja politik dengan kenyataan setelah paslon tersebut berkuasa. Sebagai sikap egaliter dan beretika harusnya kita berani meminta maaf kelak di kemudian hari, jika si paslon MELESET.
Tapi jika kita tidak memiliki andil sebagai jurkam,cukup diam diam saja dalam memilih, tentu kita tidak perlu meminta maaf pada orang lain yang terpengaruh oleh propaganda kita akibat kesalahan pemimpin yang kita arak beramai ramai.
Etika kita meminta maaf pada khalayak ramai, ketika paslon yang terpilih tidak tidak tepat janji, tentu bagian dari sikap mengamalkan pepatah orang tua tua kita." tangan mencincang bahu memikul".
Jika hanya diam tidak ikut berkampanye dan kita cukup menikmatinya di ruang ruang sunyi pikiran dan ucapan kita, sebagai sebuah pilihan yang dihargai UU di negara ini, tentu kita cukup bermaafan dengan diri kita. Walau pun pilihan kita salah, setidaknya kita tidak mengajak orang lain pada kesalahan yang sama yang kita kampanyekan secara implisit untuk mengikuti jalan kita.
Pandai pandailah menempatkan posisi. Bijak bijak lah dalam memilih kata dan laku dalam kontestasi Politik yang saling bertukar orangnya setiap lima tahun. Kalau lah boleh berandai andai ambillah posisi aman. Cukup dianalisa seseorang itu patut atau tidak dijadikan panutan sebagai pemimpin. Cukup bertengkar di benak sendiri tidak melibatkan alam fikir orang lain dalam masalah politik.
Bertengkarlah pada diri sendiri. Pertengkaran itu cukup di ruang pikir dan nurani kita masing masing.
Jangan dibawa pertengkaran ke ruang publik dengan hal hal yang terindikasi menyebut si A lebih aspiratif- -lebih mewakili-lebih merakyat daripada si B atau sebaliknya. Sebab di ruang ruang publik yang dimensinya suka atau tidak suka akan memancing penilaian orang pada diri kita. Bila orang menilai, maka muncullah perbedaan. Ada kalanya perbedaan itu baik ada kalanya perbedaan itu tidak baik. Dan terkadang penilaian itu tidak legowo bisa diterima.Ada niat untuk dan mengkonfrontir dan mengklarifikasi terus menerus. Namun perbedaan itu akan tetap selalu ada dan bahkan mungkin saja semakin membuat kisruh dialektika argumen setiap kali dikonfrontir.
Sesungguhnya memilih pilihan untuk tidak saling berbantah bantahan adalah bagian dari sikap elok lagi dewasa. Karena sesungguhnya setiap pendapat, hujjah, klaim yang disampaikan pasti akan dipertanggungjawabkan. Diam saja diminta pertanggungjawabannya. Apalagi bersuara secara beramai ramai dalam urusan pilih memilih seseorang. Tentunya akan cukup banyak hal yang akan dipertanyakan nantinya oleh si PENANYA HEBAT pada diri seorang manusia.
Bertanggung jawab dengan bertengkar di alam fikir sendiri dengan dalil akal, lalu menyerahkan pada Allah segala urusan atas pilihan pendapat yang diambil, barangkali lebih meringankan diri jika suatu saat ditanya MALAIKAT. Sebab tidak melibatkan publik yang lebih banyak.
Biarlah sikap dan tindakan luar biasa serta fighting spirit yang maksimal dipersembahkan pada pilihan mempro pagandakan keteladanan pemimpin Besar Umat Manusia, RASULULLAH. Cukupkan untuk Rasulullah. Insan kamil yang maksum.Bukan yang lain.
Biasa biasa saja lah dalam memilih calon pemimpin, gubernur atau kepala daerah. Agar budaya tepo seloro dan menghargai pendapat orang lain tidak terindikasi terlukai oleh kata dan laku kita. Bersikaplah seperti papan catur, buka seperti bidak dan raja ketika saling berhadapan di papan catur.
Karena ketahuilah ketika pilihan kita itu menang, fungsi kontrol dan pengawasan kekuasaan dan kebijakan mereka yang diakui UU, sesungguhnya akan ditentukan oleh dinamika tangan tangan diplomasi politik para legislator yang ada di lembaga legislatif.
Bukan di tangan para pemilik suara yang pada saat PILKADA, barangkali pernah ada mengalami pertengkaran ideologi, pertengkaran pikiran, pertengkaran jargon satu sama lain. Tidak juga salah menjatuhkan pilihan bersikap seperti Papan Catur, kita akan tetap mengumpulkan bidak yang putih dan yang hitam dalam satu kotak. Lalu kita tahu kapan harus bermain lagi. Tapi papan catur akan tetap menyimpan yang kalah dan menang dalam satu tempat yang teduh.
- Pekanbaru, Ba'da Jumat
